RSS

Arsip Kategori: Sejarah & Biografi

Biografi Habib Zein bin Ibrohim bin Smith

Habib Zain lahir di ibukota Jakarta pada tahun 1357 H/1936 M. Ayahnya Habib Ibrahim adalah ulama besar di bumi Betawi kala itu, selain keluarga, lingkungan tempat di mana mereka tinggal pun boleh dikatakan sangat religius.

Guru-gurunya ialah Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz, Habib Umar bin Alwi al-Kaf, Al-Allamah Al-Sheikh Mahfuz bin Salim, Sheikh Salim Said Bukayyir Bagistan, Habib Salim bin Alwi Al-Khird, Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aydrus, Habib Muhammad Al-Haddar (mertuanya).
pada usia empat belas tahun (1950), ayahnya memberangkatkan
Habib Zain ke Hadramaut, tepatnya kota Tarim. Di bumi awliya’ itu Habib Zain tinggal di rumah ayahnya yang telah lama ditinggalkan.
Menyadari mahalnya waktu untuk disia-siakan, Habib Zain berguru kepada sejumlah ulama setempat, berpindah dari madrasah satu ke madrasah lainnya, hingga pada akhirnya mengkhususkan belajar di ribath Tarim. Di pesantren ini nampaknya Habib Zain merasa cocok dengan keinginannya.

Di sana ia memperdalam ilmu agama, antara lain mengaji kitab ringkasan (mukhtashar) dalam bidang fikih kepada Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz, di bawah asuhan Habib Muhammad pula, Habib Zain berhasil menghapalkan kitab fikih buah karya Imam Ibn Ruslan, “Zubad”, dan “Al-Irsyad” karya Asy-Syarraf Ibn Al-Muqri.

Tak cukup di situ, Habib Zain belajar kitab “Al-Minhaj” yang disusun oleh Habib Muhammad sendiri, menghapal bait-bait (nazham) “Hadiyyah As-Shadiq” karya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir dan lainnya. Dalam penyampaiannya di Tarim beliau sempat berguru kepada sejumlah ulama besar seperti Habib Umar bin Alwi Al-Kaf, Syekh Salim Sa’id Bukhayyir Bagitsan, Habib Salim bin Alwi Al-Khird, Syekh Fadhl bin Muhammad Bafadhl, Habib Abdurrahman bin Hamid As-Sirri, Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aydrus, Habib Ibrahim bin Umar bin Agil dan Habib Abubakar bin Abdullah Al-Atthas.

Selain menimba ilmu di sana Habib Zain banyak mendatangi majlis para
ulama demi mendapat ijazah, semisal Habib Muhammad bin Hadi Assaqof, Habib Ahmad bin Musa Al-Habsyi, Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki, Habib Umar bin Ahmad bin Smith, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assaqof dan Habib Muhammad bin Ahmad Assyatiri. Melihat begitu banyaknya ulama yang didatangi, dapat disimpulkan, betapa besar semangat Habib Zain dalam rangka merengkuh ilmu pengetahuan agama, apalagi melihat lama waktu beliau tinggal di sana, yaitu kurang lebih delapan tahun.
Kemudian salah seorang gurunya bernama Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz menyarankannya pindah ke kota Baidhah, salah satu wilayah pelosok bagian negeri Yaman, untuk mengajar di ribath sekaligus berdakwah. Ini dilakukan menyusul permohonan mufti Baidhah, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar.

Dalam perjalanan ke sana, Habib Zain singgah dulu di kediaman seorang
teman dekatnya di wilayah Aden, Habib Salim bin Abdullah Assyatiri,
yang saat itu menjadi khatib dan imam di daerah Khaur Maksar, disana
Habib Zain tinggal beberapa saat.

Selanjutnya Habib Zain melanjutkan perjalanannya di Baidhah, Habib Zain pun mendapat sambutan hangat dari sang tuan rumah Habib Muhammad Al-Haddar, di sanalah untuk pertama kali ia mengamalkan ilmunya lewat mengajar. Habib Zain menetap lebih dari 20 tahun di Rubath Baidha’ menjadi khadam ilmu kepada para penuntutnya, beliau juga menjadi mufti dalam Mazhab Syafi’e. Setelah itu beliau berpindah ke negeri Hijaz selama 12 tahun, Habib Zain telah bersama-sama dengan Habib Salim Assyatiri menguruskan Rubath di Madinah,Setelah itu Habib Salim telah berpindah ke Tarim Hadhramaut untuk menguruskan Rubath Tarim.

Habib Zain di Madinah diterima dengan ramah, muridnya banyak dan terus bertambah, dalam kesibukan mengajar dan usianya yang juga semakin meningkat, keinginan untuk terus menuntut ilmu tidak pernah pudar. Beliau mendalami ilmu Usul daripada Sheikh Zay dan Al-Syanqiti Al-Maliki. Habib Zain terus menyibukkan diri menuntut dengan Al-Allamah Ahmad bin Muhammad Hamid Al-Hasani dalam ilmu bahasa dan Ushuluddin.

Habib Zain seorang yang tinggi kurus. Lidahnya basah, tidak henti berzikrullah. Beliau sentiasa menghidupkan malamnya. Di waktu pagi Habib Zain keluar bersolat Subuh di Masjid Nabawi. Beliau beriktikaf di Masjid Nabawi sehingga matahari terbit, setelah itu beliau menuju ke Rubath untuk mengajar. Majlis Rauhah setelah asar sehingga maghrib.

Alhamdulilah menyambut kedatangan Habib Zein bin Ibrohim bin Smith pada tanggal 2-3 Mei 2011 di Majelis Ta’lim dan Da’wah Asy-Syifaa Wal-Mahmuudiyyah Sumedang. Beliau akan mengadakan multaqo dengan para ulama sebanyak 2000 ulama sebagaimana yang telah diumumkan oleh Syaikhona Bapa Kyai di majelis pengajian di Sumedang.

Multaqo akan diadakan selama dua hari rencana bertempat di majelis Pangaduan Heubeul Sumedang. Untuk para mustami, simpatisan dan segenap kaum muslim mari kita sukseskan acara yang mulia ini.

Semoga menjadi keberkahan bagi kita semua di dunia dan akhirat berkumpul dengan ulama-ulama Alloh dan menjadi penegak panji-panji Sayyiduna wa Maulana Muhammad S.A.W. dan kelak mendapat safaat dari Nabi kita termulya dan dari Ulama-Ulama Alloh.

Amiin Amiin Yaa Robbal Alamiin…..

Sumber :

pondokhabib.wordpress.com

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada April 28, 2011 inci Sejarah & Biografi

 

KISAH ROSULULLAH DENGAN PENGEMIS BUTA

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Dalam rangka menyambut Peringatan Maulid Nabi di bulan robiul awal ini, ana sampaikan kisah Indahnya Akhlak Rosulullah yang semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, juga bisa menambah rasa cinta kita kepada beliau Sayyidinaa Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinyaselalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya”. Read the rest of this entry »

 
4 Komentar

Ditulis oleh pada Februari 7, 2011 inci Sejarah & Biografi, Tentang Nabi SAW

 

Biografi Al Alamah Al arifbillah Almusnid Al Habib Umar Bin Hafidz

Biografi Al Alamah Al arifbillah Almusnid Al Habib Umar Bin Hafidz

Al-Habib ‘Umar bin Hafiz

Beliau adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w.

Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.

Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dhikr.

Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.

Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.

Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.

Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w.

Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.

Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib ‘Attas al-Habashi.

Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Barat.

Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.

Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.

Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya

 

 
7 Komentar

Ditulis oleh pada Desember 10, 2010 inci Sejarah & Biografi

 

Download Kitab Pilihan Ahlus Sunnah wl Jama’ah

Penjelasan Tentang Fdilah Maulid Nabi

01 Saiyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq :- Download
02 Saiyidina ‘Umar Al-Khaththob :- Download
03 Saiyidina Utsman :- Download
04 Saiyidina ‘Ali :- Download
05 Hasan Al-Bashri :- Download
06 Junaid Al-Baghdadi :- Download
07 Ma’ruf Al-Karkhi :- Download
08 Fakhruddin Al-Razi :- Download
09 Imam Asy-Syafi’i :- Download
10 As-Sariyy As-Saqothi :- Download
11 As-Suyuthi :- Download
12. Ibnu Hajar Al-Haitami :- Download

Download Kitab Al-Ni’mah Al-Kubro ‘ala Al-‘Alamin fi Maulid Sayyid Walad Adam (‘Arab) :- Download Read the rest of this entry »

 

Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki Tentang Maulid (2)

Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki Tentang Maulid (2)

Sumber:  orgawam d

Pendapat Syaikh Ibnu Taimiyah Mengenai Maulid

Syaikh Ibnu Taymiyyah telah berkata: Kadangkala diberikan pahala kepada sebahagian manusia ketika melakukan maulid. Begitulah seperti mana yang dilakukan oleh masyarakat samada sebagai menyerupai orang Nasrani pada kelahiran Nabi Isa عليه السلام, atau karena kecintaan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan membesarkan baginda صلى الله عليه وسلم . Dan Allah mungkin memberi pahala di atas kasihsayang dan kesungguhan ini, tidak karena bid’ahnya amalan ini.

Kemudian Ibnu Taimiyah berkata lagi: Ketahuilah, bahawa diantara amalan-amalan itu ada yang mengandungi kebaikan karena itu ianya disyariatkan. Ada juga amalan yang berupa bid’ah sayyiah atau seumpamanya, maka amalan ini salah dan satu penyelewengan daripada agama, seperti hal dan keadaan orang munafiq dan fasiq.

Hal ini telah dilakukan oleh ramai orang pada akhir-akhir ini. Disini saya bentangkan dua cara dari segi adab untuk mengatasinya:-

Pertama: Hendaklah kamu berpegang teguh pada sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم zahir dan bathin pada diri kamu dan mereka yang taat kepada kamu. Juga hendaklah kamu taat kepada yang ma’ruf dan ingkar kepada yang mungkar.

Kedua: Hendaklah kamu menyeru manusia supaya melakukan sunnah seberapa terdaya. Dan jika terdapat orang yang melakukan demikian hendaklah kamu terus galakkan, kecuali jika ianya mendatangkan tidak baik. Jangan menyeru kepada meninggalkan yang mungkar dengan melakukan yang lebih mungkar. Jangan meninggalkan perbuatan yang wajib atau sunnah, karena dengan meninggalkannya kamu telah melakukan sesuatu yang lebih mudharat daripada melakukan yang makhruh.

Sekiranya ada bid’ah yang berunsur kebajikan, seberapa daya gantikan dengan kebajikan yang disyariatkan, karena memang tabiat manusia tidak mahu meninggalkan sesuatu kecuali ada gantinya. Hendaklah jangan kita lakukan amalan yang baik kecuali kita lakukan amalan yang sama baiknya atau yang lebih baik lagi.

Memuliakan peringatan maulid, dan sewaktu-waktu menjadikannya sebagai amalan yang adakalanya dilakukan oleh setengah orang, mendapat pahala yang besar, karena mereka mempunyai niat yang baik dan mengandungi unsur-unsur memuliakan Nabi صلى الله عليه وسلم, sebagaimana yang saya sebutkan tadi. Tetapi adakalanya amalan yang baik bagi sesetengah mu’min, dipandang buruk oleh mu’min yang lain.

Imam Ahmad pernah diberitahu bahawa seorang putera raja telah membelanjakan lebih kurang 1,000 dinar untuk sebuah al-Quran. Maka jawabnya, walaupun mahu dibelanjakan dengan emas sekalipun biarkanlah. Padahal menurut mazhab Imam Ahmad menghiasi al-Quran itu adalah makhruh.

Ada juga yang berpendapat bahawa perbelanjaan 1,000 dinar itu adalah untuk memperbaharui kertas dan tulisan. Tetapi maksud Imam ahmad masalah ini ada bercampur kebaikan dan keburukannya. Maka itu tidak digemarinya.(9)

Pendapat saya (Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki) mengenai maulid

Pendapat kita, sesungguhnya sambutan kelahiran Nabi صلى الله عليه وسلم yang mulia tidak mempunyai kaifiat yang tertentu yang perlu diikuti oleh semua orang atau cara yang kita wajibkan atas semua. Bahkan, bahawa apa sahaja yang boleh menyeru umat manusia ke arah kebaikan, mengumpulkan mereka atas petunjuk Allah, serta mendidik mereka kepada apa juga yang boleh memberi manfaat kepada agama mereka, boleh merealisasikan tujuan maulid nabi ini.

Oleh yang demikian, jika kita berkumpul dalam majlis puji-pujian ke atas Nabi صلى الله عليه وسلم yang mana padanya ada ingatan terhadap kekasih kita صلى الله عليه وسلم, keutamaan baginda, jihad baginda serta khususiat baginda, (walaupun kita tidak membaca kitab maulid yang dikenali ramai, – seperti maulid ad-daibaie dan al-barzanji – karena ada sebahagian yang menyangka bahawa majlis maulid itu tidak akan sempurna melainkan dengan membaca kitab-kitab tersebut), kemudian kita mendengar pula apa yang diperkatakan oleh para pendakwah dalam memberi peringatan dan petunjuk, serta apa yang dibacakan oleh qari’ daripada ayat-ayat Al-Qur’an.

Saya (as-Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki) ada mengatakan: Jika kita melakukan demikian, sesungguhnya ia telah termasuk dalam lingkungan makna maulid Nabi yang mulia, dan tercapailah maksud sambutan ini, dan saya melihat ia tidak diperselisihkan oleh sesiapa jua.
.
____________________________________________________________

Catatan kaki:-

(9) Begitulah pendapat Ibnu Taymiyah yang jelas tidak mengingkari sambutan ini, walaupun beliau mengingkari apa-apa perbuatan mungkar yang ada pada sambutan ini (sama seperti fahaman kita yang telah diterangkan sebelum ini). Malah Ibnu Taymiyah menyamakan hukum sambutan ini dengan jawapan Imam Ahmad pada perbelanjaan besar untuk menghiasi mushaf. Namun demikian mereka yang mengingkari sambutan ini, akan menggunakan pendapat Ibnu Taymiyah secara umum dalam memerangi bid’ah (yang sesat – pada pandangan mereka) sambutan maulid Nabi صلى الله عليه وسلم, sambil meninggalkan apa yang dikatakan sendiri oleh Ibnu Taymiyah dalam perkara ini secara khusus. Semoga Allah memberi hidayah kepada semua.

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada Maret 2, 2010 inci Sejarah & Biografi, Tentang Nabi SAW

 

Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki Tentang Maulid (3)

Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki Tentang Maulid (3)

Sumber: orgawam

Berdiri ketika Sambutan Maulid Nabi

Adapun amalan berdiri pada Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم , iaitu ketika mana disebutkan tentang keputeraan Nabi صلى الله عليه وسلم ke dunia, maka sesungguhnya sebahagian orang menyangka bahawa perbuatan adalah salah, tidak mempunyai asal (dalil) disisi ahli ilmu.

Tidak ternafi juga salah faham ini juga ada pada mereka yang menyambutnya, tetapi di kalangan mereka yang benar-benar jahil yang tidak boleh kita ambil kata-kata mereka. Salah faham ini ialah, berdiri ketika sambutan ini sebagai menyambut kedatangan baginda Nabi صلى الله عليه وسلم dengan jasad baginda yang mulia. Antara salah faham yang lebih teruk lagi ialah kononnya wangian dan air yang diletakkan di tengah-tengah majlis adalah minuman yang disediakan untuk baginda صلى الله عليه وسلم.

Sangkaan-sangkaan begini tidak patut ada pada fikiran kita ummat Islam, dan kita berlepas diri dari sangkaan buruk begini, karena hal ini dikira biadab terhadap Rasulullah. I’tiqad sebegini tidak timbul melainkan dari orang mulhid atau pendusta. Persoalan di alam barzakh tidak diketahui oleh sesiapa pun melainkan Allah.

Malah kita meyakini bahawa Rasulullah صلى الله عليه وسلم lebih sempurna dan mulia dari sangkaan kononnya baginda keluar dari kubur dengan jasad baginda yang mulia dan datang ke majlis pada waktu-waktu tertentu. Saya mengata hal ini adalah dusta serta biadab yang terbit dari orang yang benci, dengki atau atau seorang yang bodoh sombong. Namun begitu kita memang beriktiqad bahawa baginda صلى الله عليه وسلم hidup dalam kehidupan barzakh yang sempurna yang sesuai dengan kedudukan baginda.

Dan sesuai dengan hidup yang sempurna tersebut roh baginda boleh pergi ke merata tempat di alam malakut Allah, dan boleh menghadiri majlis-majlis kebajikan dan acara-acara yang dipenuhi cahaya Allah dan ilmu pengetahuan. Begitu jugalah arwah para mukminin yang sebenar.yang mengikuti baginda.

Imam Malik rahimahullahu Ta’ala pernah berkata :

بَلَغَنِيْ أَنَّ الرُّوْحَ مُرْسَلَةٌ تَذْهَبُ حَيْثُ شَاءَتْ

Artinya: Telah sampai kepadaku khabar bahawa roh dapat pergi ke mana-mana dihendaki.

Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu pula berkata:

أَرْوَاحُ المُؤْمِنِيْنَ فِيْ بَرْزَخٍ مِنَ الأَرْضِ تَذْهَبُ حَيْثُ شَاءَتْ

Artinya: Roh-roh orang mukmin di alam barzakh, pergi ke mana dikehendaki. (Sebagaimana tersebut didalam kitab ar-Ruh oleh Ibn Qayyim, mukasurat 144)

Setelah engkau telah mengetahui semuanya itu, maka ketahuilah bahawa berdiri ketika sambutan maulid bukanlah wajib mahupun sunnah, dan tidak betul kita beriktiqad sedemikian. Malahan ia adalah satu harakat (gerakan) yang menggambarkan kesukaan dan kegembiraan manusia ketika mana disebutkan bahawa baginda صلى الله عليه وسلم lahir ke dunia, para pendengar dapat menggambarkan bahawa seluruh alam bergembira dan seronok dengan nikmat ini, maka mereka pun berdiri bagi menunjukkan kegembiraan ini.

Oleh itu, ia adalah masalah kebiasaan semata-mata bukan keagamaan, dan ia bukanlah ibadah, syariah atau sunnah tetapi apa yang dilakukan oleh kebiasaan manusia. Pendapat ulama tentang berdiri ketika membaca maulid Walaupun kita sebutkan sebelum ini bahawa berdiri ketika disebutkan keputeraan Nabi صلى الله عليه وسلم adalah soal kebiasaan manusia, bukanlah suatu ibadah sunnah atau wajib, terdapat juga sebahagian ulama yang memandang baik perkara ini.

Shaikh Ja’afar al-Barzanji rahimahullahu Ta’ala, yang merupakan salah seorang penyusun kitab maulid, ada mengatakan :

وقد استحسن القيام عند ذكر مولده الشريف أئمةٌ ذوو رواية ورويّه ، فطوبى لمن كان تعظيمه صلّى الله عليه وسلّم غاية مرامه ومرماه

Artinya: Adalah dipandang baik dikalangan ulama yang mempunyai riwayat dan penelitian, perbuatan berdiri ketika kisah keputeraan baginda صلى الله عليه وسلم disebutkan. Maka beruntunglah sesiapa yang melakukannya dengan tujuan untuk membesarkan Nabi صلى الله عليه وسلم.

Kami maksudkan ‘baik’ disini ialah karena harusnya hal itu dari segi zatnya, asalnya dan puji-pujian bagi Nabi صلى الله عليه وسلم yang dituntut dari mula kebangkitan itu sehingga kesudahannya. Maksud ini tidak boleh dibandingkan dengan makna yang diistilahkan pada usul fiqh.

Penuntut-penuntut ilmu yang kurang pengetahuannya pun tahu bahawa isitilah استحسن (memandang baik) itu digunakan pada perkara-perkara yang biasa difaham oleh segolongan manusia, seperti misalnya mereka berkata, “Saya dapati kitab ini baik. Perkara ini dipandang baik. Orang-orang telah menyukai perjalanan tersebut.” Maksud mereka ialah pandangan biasa dari segi bahasa. Jika tidak demikian, nescaya semua perkara-perkara itu berasal dari segi syara’, tetapi orang yang beraqal dan yang mengetahui ilmu usul fiqh tidak berkata begitu.

Beberapa Alasan Untuk Memandang Baik Berdiri Semasa Membaca Maulid

1) Kebiasaan berdiri dalam memperingati maulid pada detik-detik kisah keputeraan Rasulullah صلى الله عليه وسلم disebutkan, dilakukan oleh kaum Muslimin di perlbagai negeri, kawasan dan daerah. Para ulama di timur dan di barat juga memandangnya sebagai kebiasaan yang baik. Tujuannya tiada lain dari memuliakan, membesarkan pihak yang diperingati maulidnya, iaitu junjungan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Dan apa yang dipandang baik oleh muslimin, maka ia adalah baik di sisi Allah dan apa yang dipandang keji maka ia adalah keji di sisi Allah seperti mana yang kita telah sebutkan sebelum ini dalam hadis mauquf daripada Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

2) Berdiri hormat bagi menghormati ahlul fadhl adalah disyariatkan dan dalil-dalil yang mentsabitkannya banyak terdapat didalam sunnah. Malah Imam Nawawi rahimahullah Ta’ala telah menyusun bab ini dalam satu bahagian tersendiri dan ia diperkuatkan lagi oleh Imam Ibn Hajar rahimahullah Ta’ala yang telah menyanggah kata-kata mereka yang menolak (iaitu Ibnu al-Haj) pendapat Imam Nawawi dalam perkara ini dalam satu kitab yang lain yang bernama: رفع الملام عن القائل باستحسان القيام

(3 Diriwayatkan dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih bahawa baginda صلى الله عليه وسلم menyeru kepada kaum Ansar :

قُوْمُوْا إِلىَ سَيِّدِكُمْ

Artinya: “Berdirilah bagi penghulu kalian”.

Perintah berdiri ini adalah sebagai menghormati dan mengagungkan Sayyidina Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, dan bukanlah karena beliau sedang sakit ketika itu.

Ini karena jika perintah ini hanya disebabkan Sayyidina Sa’ad sedang sakit, tentulah baginda akan memerintah : قوموا إلى مريضكم “berdirilah bagi menyambut orang yang sedang sakit di kalangan kalian”, dan bukannya, berdirilah bagi penghulu kalian.(10)

4) Antara petunjuk Nabi صلى الله عليه وسلم adalah baginda selalu berdiri sebagai menghormati dan menyambut sesiapa yang masuk berjumpa baginda. Ini seperti mana yang baginda lakukan sendiri ketika mana baginda berdiri menyambut puteri baginda Sayyidah Fathimah رضي الله عنها, dan menyatakan penghormatan baginda untuk beliau. Begitu juga perintah kepada kaum Ansar untuk berdiri menyambut penghulu mereka. Maka ini menunjukkan pensyariatan berdiri, dan baginda صلى الله عليه وسلم adalah yang paling berhak kita agungkan dari para sahabat tadi.(11)

5) Mungkin dikatakan bahawa penghormatan tersebut boleh jika pada masa hayat dan kehadiran baginda صلى الله عليه وسلم, dan ketika sambutan maulid ini baginda tidak hadir. Jawapannya adalah, para pembaca maulid yang mulia menggambarkan di dalam jiwa mereka hadirnya baginda صلى الله عليه وسلم.

Dan gambaran ini merupakan suatu perkara yang terpuji dan dituntut, malah mesti dilakukan setiap waktu dalam minda setiap muslim yang benar-benar beriman, bagi menyempurnakan ketaatan dan menambahkan kecintaan kepada baginda صلى الله عليه وسلم. Mereka berdiri sebagai tanda hormat dan mulia dengan gambaran yang ada pada jiwa mereka berkenaan Rasul yang agung ini, sambil merasakan kemuliaan dan keagungan kedudukan baginda. Dan ini merupakan suatu perkara yang biasa, seperti mana disebutkan sebelum ini. Malah menghadirkan demikian itu adalah suatu yang mesti bagi menambahkan rasa penghormatan kepada baginda صلى الله عليه وسلم.

____________________________________________________________

Catatan kaki:-

(10) Selain itu tentulah tidak diperintahkan semua orang berdiri bagi menyambutnya, karena cukuplah sebahagian sahaja yang berdiri menyambut orang yang sakit. Di sini jelas bahawa perintah berdiri bagi memuliakan seseorang adalah disyariatkan.]

(11) Terdapat beberapa hadits lagi yang menunjukkan bahawa baginda berdiri karena menyambut seseorang antaranya:-

قالت أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها: قدم زيد بن حارثة المدينة والنبي صلى الله عليه وسلم في بيتي، فقرع الباب فقام إليه فاعتنقه وقبله

Artinya ( lebihkurang): Ummul Mu’minin ‘Aisyah berkata: Ketika Zaid bin Haritsah tiba ke Madinah, dan ketika itu baginda sedang berada dirumahku. Maka Zaid mengetuk pintu rumahku. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم berdiri menyambut kedatangannya, lalu memeluk dan menciumnya.

أخرج أبو داود عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: كان والنبي صلى الله عليه وسلم يحدثنا فإذا قام قمنا إليه حتى نراه قد دخل

Artinya ( lebihkurang): Dikeluarkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah رضي الله عنه , katanya: Adalah Rasulullah صلى الله عليه وسلم berbicara dengan kami. Apabila baginda berdiri, maka kamipun sehingga melihat baginda telah pun masuk (ke dalam rumahnya).

و أخرج أبو داود في سننه: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان جالسا يوما فأقبل أبوه من الرضاعة فوضع له بعض ثوبه فجلس عليه، ثم أقبلت أمه من الرضاعة فوضع لها شق ثوبه من الجانب الآخر، ثم أقبل أخوه من الرضاعة فقام فأجلسه بين يديه

Artinya ( lebihkurang): Dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam sunannya bahawa pada suatu hari Nabi صلى الله عليه وسلم sedang duduk. Lalu datang ayah susuan baginda. Baginda membentangkan kain baginda untuknya, dan dia (ayah susuan baginda) duduk diatasnya. Kemudian datang pula ibu susuan baginda. Baginda membentangkan bahagian dari kain baginda, dan dia (ibu susuan baginda) duduk diatasnya. Setelah itu datang saudara susuan baginda, maka baginda berdiri mempersilakan duduk bersama baginda.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Maret 2, 2010 inci Sejarah & Biografi, Tentang Nabi SAW

 

Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki Tentang Maulid (6-Tamat)

Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki Tentang Maulid (6-Tamat)

Sumber:  orgawam

Sebahagian Kitab Yang Masyhur Berkenaan Maulid

Kitab-kitab yang ditulis berkenaan maulid terlalu banyak, dalam pelbagai bentuk penulisan. Di sini kita tidak akan menyebut semua kitab tersebut, tetapi kita akan menyebutkan sebahagian sahaja daripadanya, terutamanya dari pada huffazul hadits, serta para Imam, yang ada menulis kitab maulid dan terkenal pula karangan mereka ini. Cukuplah sekian banyak kitab ini menjadi pedoman kita akan keutamaan dan kemuliaan maulid Nabi ini.

Antara yang mengarang kitab-kitab tersebut adalah:

1) Al-Imam al-Muhaddis al-Hafiz Abdul Rahman bin Ali yang terkenal dengan Abulfaraj ibnul Jauzi (wafat tahun 597H), dan maulidnya yang masyhur dinamakan “Al-Arus”. Telah dicetak di Mesir berulang kali.

2) Al-Imam al-Muhaddis al-Musnid al-Hafiz Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yang terkenal dengan Ibn Dahyatilkalbi (wafat tahun 633H). Beliau mengarang maulid yang hebat yang mempunyai tahqiq yang begitu berfaedah yang dinamakan “At-Tanwir Fi Maulidil Basyirin Nadzir”

3) Al-Imam Syeikhul Qurra’ Waimamul Qiraat pada zamannya, al-Hafiz al-Muhaddis al-Musnid al-Jami’ Abulkhair Syamsuddin Muhammad bin Abdullah al-Juzuri asy-Syafi’e (wafat tahun 660H). Maulidnya dalam bentuk manuskrip berjudul “‘Urfutta’rif bilmaulidis syarif”

4) Al-Imam al-Mufti al-Muarrikh al-Muhaddis al-Hafiz ‘Imaduddin Ismail bin Umar ibn Katsir, penyusun tafsir dan kitab sejarah yang terkenal (wafat tahun 774H). Ibn Katsir telah menyusun satu maulid nabi yang telah pun diterbitkan dan ditahqiq oleh Dr Solahuddin al-Munjid.

Kemudiannya maulid ini telah ditanzimkan dan disyarahkan oleh al-’Allamah al-Faqih as-Sayyid Muhammad bin Salim bin Hafidz, Mufti Tarim, dan diberi komentar pula oleh al-Marhum al-Muhaddis as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, yang telah diterbitkan di Syria pada tahun 1387H.

5) Al-Imam al-Kabir wal’alim asy-Syahir, Hafizul Islam wa ‘Umdatul Anam, wa Marja’il Muhaddisin al-A’lam, al-Hafiz Abdul Rahim ibn Husain bin Abdul Rahman al-Misri, yang terkenal dengan al-Hafiz al-Iraqi (725H – 808H). Maulidnya yang mulia dan hebat, dinamakan “Al-Mauridul Hana” dan telah disebutkan oleh ramai huffaz seperti Ibn Fahd dan As-Suyuthi.

6) Al-Imam al-Muhaddis al-Hafiz Muhammad bin Abi Bakr bin Abdillah al-Qisi ad-Dimasyqi asy-Syafie, yang terkenal dengan al-Hafiz Ibn Nasiriddin ad-Dimasyqi (777-842H). Beliau merupakan ulamak yang membela Ibn Taymiyah malah menulis kitab bagi menjawab pertuduhan ke atas Ibn Taimiyah. Beliau telah menulis beberapa kitab maulid, antaranya:
i) “Jami’ul Atsaar Fi Maulidinnabiyil Mukhtar” dalam 3 Jilid
ii) “Al-Lafdzurra’iq Fi Maulid Khairil Khalaiq” – berbentuk ringkasan. iii) “Maurid As-Sabiy Fi Maulid Al-Hadi”

7) Al-Imam al-Muarrikh al-Kabir wal Hafiz asy-Syahir Muhammad bin Abdul Rahman al-Qahiri yang terkenal dengan al-Hafiz as-Sakhawi (831-902H) yang mengarang kitab Addiyaullami’ dan kitab-kitab lain yang berfaedah. Beliau telah menyusun maulid Nabi dan dinamakan “Al-Fakhrul ‘Alawi Fi al-Maulid an-Nabawi” (Disebutkannya dalam kitab ad-Diyaullami’, Juzuk 8, halaman 18).

8 ) Al-Allamah al-Faqih ss-Sayyid Ali Zainal Abidin as-Samhudi al-Hasani, pakar sejarah dari Madinah al-Munawarrah (wafat tahun 911H). Maulidnya yang ringkas (sekitar 30 muka surat) dinamakan “Al-Mawarid Al-Haniyah Fi Maulid Khairil Bariyyah”. Kitab ini dalam tulisan khat nasakh yang cantik dan boleh didapati di perpustakaan-perpustakaan di Madinah, Mesir dan Turki.

9) Al-Hafiz Wajihuddin Abdul Rahman bin Ali bin Muhammad asy-Syaibani al-Yamani az-Zabidi asy-Syafie, yang terkenal dengan Ibn Daibai’e. beliau dilahirkan pada bulan Muharram 866H, dan meninggal dunia pada hari Jumaat, 12 Rejab 944H. Beliau merupakan salah seorang Imam pada zaman beliau, dan merupakan kemuncak masyaikhul hadits. Beliau telah meriwayatkan hadits-hadits al-Bukhari lebih seratus kali, dan membacanya sekali dalam masa enam hari. Beliau telah menyusun maulid yang amat masyhur dan dibaca di merata dunia (maulid daibaie). Maulid ini juga telah ditahqiq, diberi komentar serta ditakhrijkan haditsnya oleh al-Marhum al-Muhaddits as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.

10) Al-’Allamah al-Faqih al-Hujjah Syihabuddin Ahmad ibn Hajar al-Haitami (wafat tahun 974H). Beliau merupakan mufti Mazhab Syafie di Makkah al-Mukarramah. Beliau telah mengarang maulid yang sederhana (71 mukasurat) dengan tulisan khat naskh yang jelas yang boleh didapati di Mesir dan Turki. Beliau namakannya “Itmamun Ni’mah ‘Alal ‘Alam Bimaulid Saiyidi Waladi Adam”. Selain itu beliau juga menulis satu lagi maulid yang ringkas, yang telah diterbitkan di Mesir dengan nama “An-Ni’matul Kubra ‘Alal ‘Alam Fi Maulid Saiyidi Waladi Adam”.

As-Syeikh Ibrahim al-Bajuri pula telah mensyarahkannya dalam bentuk hasyiah dan dinamakannya : “Tuhfatul Basyar ‘ala Maulid Ibn Hajar”

11) Al-’Allamah al-Faqih asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad ys-Syarbini al-Khatib (wafat tahun 977H). Maulidnya dalam bentuk manuskrip sebanyak 50 halaman, dengan tulisan yang kecil tetapi boleh dibaca.

12) Al-’Allamah al-Muhaddits al-Musnid al-Faqih asy-Syaikh Nuruddin Ali bin Sultan al-Harawi, yang terkenal dengan al-Mulla Ali al-Qari (wafat tahun 1014H) yang mensyarahkan kitab al-Misykat. Beliau telah mengarang maulid dengan judul “Al-Maulidurrawi Fil Maulidin Nabawi”. Kitab ini juga telah ditahqiq dan diberi komentar oleh al-Marhum al-Muhaddits as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, dan dicetak di Matba’ah As-Sa’adah Mesir tahun 1400H/1980M.

13) Al-’Allamah al-Muhaddits al-Musnid as-Sayyid Ja’far bin Hasan bin Abdil Karim al-Barzanji, Mufti Mazhab As-Syafi’e di Madinah al-Munawarah (khilaf pada tahun wafatnya, 1177H atau 1184H). Beliau merupakan penyusun maulid yang termasyhur yang digelar Maulid al-Barzanji. Sebahagian ulama menyatakan nama sebenar kitab ini ialah “‘Aqdul Jauhar Fi Maulidin Nabiyil Azhar”. Maulid ini merupakan maulid yang termasyhur dan paling luas tersebar di negara-negara Arab dan Islam, di timur dan barat. Malah dihafal dan dibaca oleh orang Arab dan ‘Ajam pada perhimpunan-perhimpunan mereka yang berbentuk kemasyarakatan dan keagamaan.

14) Al-’Allamah Abul Barakat Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-’Adawi yang terkenal dengan ad-Dardir (wafat tahun 1201H). Maulidnya yang ringkas telah dicetak di Mesir dan terdapat hasyiah yang luas padanya oleh Syeikul Islam di Mesir, al-Allamah As-Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Baijuri atau al-Bajuri (wafat tahun 1277H).

15) Al-’Allamah asy-Syeikh Abdul Hadi Naja al-Abyari Al-Misri (wafat tahun 1305H). Maulidnya yang ringkas dalam bentuk manuskrip.

16) Al-Imam al-’Arifbillah al-Muhaddits al-Musnid as-Sayyid asy-Syarif Muhammad bin Ja’far al-Kattani al-Hasani (wafat tahun 1345H). Maulidnya berjudul (Al-Yumnu Wal-Is’ad Bimaulid Kharil ‘Ibad” dalam 60 halaman, telah diterbitkan di Maghribi pada tahun 1345H.

17) Al-’Allamah al-Muhaqqiq asy-Syeikh Yusuf an-Nabhani (wafat tahun 1350H). Maulidnya dalam bentuk susunan bait dinamakan “Jawahirun Nazmul Badi’ Fi Maulidis Syafi’” diterbitkan di Beirut berulangkali.

Begitulah sebahagian daripada kitab-kitab maulid yang telah disusun oleh para ulamak ummat Islam yang terkenal. Kebanyakan maulid yang ada hari ini dikarang oleh para huffaz, muhaddisin dan ulamak yang masyhur. Cukuplah bagi kita melihat betapa maulid ini begitu dimuliakan oleh para ulamak silam, tetapi cuba diingkari oleh mereka yang mengaku cerdik pandai dalam agama di zaman ini.

نسأل الله سبحانه و تعالى تمامها وظهورها و أن يجعلها خالصة لوجهه الكريم
وصلى الله وسلم وبارك على يسدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

– TAMAT TERJEMAHAN-

Penutup

Semoga terjemahan ini memberi gambaran sebenar yang jelas serta kefahaman yang jitu kepada para pembaca tentang persoalan menyambut maulid Nabi صلى الله عليه وسلم . Usahlah terpedaya kepada mereka yang menentang akan sambutan ini. Saya, Abu Zahrah mengucapkan jutaan terimakasih kepada al-Fadhil Ustaz Sayyid Abdul Kadir al-Joofre karena mengizinkan saya untuk menggunakan sebahagian daripada terjemahannya serta membuat pengolahan. Dan semoga Allah merahmati dan memberkati penulis asal kitab iaitu al-Marhum al-Muhaddits as-Sayyid Muhammad bin Alawi bin ‘Abbas bin ‘Abdul Aziz al-Maliki al-Makki al-Hasani.
اللهم انشرنفحات الرضوان عليه وإمدنا بالأسرار التي أودعتهالديه. اللهم صل وسلم على جده النبي الأمين سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
InsyaAllah kita akan menyambut maulid dalam waktu terdekat, oleh itu marilah menghadiri sambutan maulid di masjid, surau, balairaya atau dimana sahaja – hayatilah sirah yang dibaca, jiwailah shalawat yang dialunkan, fahamilah tazkirah yang disampaikan, karena ia akan menyuburkan serta menambahkan lagi rasa kasih serta cinta kita kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم .- jiwa kita akan lebih bertenaga untuk terus mengikuti segala ajarannya, jejak langkahnya dalam rangka kita mentaati Allah setiap detik dan ketika.

وصلى الله على خير خلقه سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
-Abu Zahrah-

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Maret 2, 2010 inci Sejarah & Biografi, Tentang Nabi SAW

 

Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki Tentang Maulid (4)

Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki Tentang Maulid (4)

Sumber: orgawam

Bid’ah dan Perkara Mungkar Pada Sambutan Maulid Nabi

Tidak kita nafikan terdapat beberapa perkara bid’ah dan mungkar yang berlaku pada sebilangan kecil sambutan maulid Nabi صلى الله عليه وسلم yang diadakan di beberapa buah negara ‘Arab dan negara Islam lain. Perkara ini sering kali kita ingatkan dan tegurkan keburukannya. Namun begitu, alhamdulillah di kebanyakan majlis sambutan maulid yang kita hadiri tidak berlaku bid’ah dan perkara mungkar demikian.

Antara perkara mungkar tersebut adalah percampuran dan pergaulan bebas antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram yang merupakan pintu utama kejahatan dan sebab terbesar terjadinya fitnah seperti mana yang terdapat dalam hadits.

Antara bid’ah pada sebahagian sambutan maulid lagi ialah apa yang dilakukan oleh golongan yang jahil apabila menyambutnya dengan perkara-perkara yang melalaikan, permainan, nyanyian yang haram dan apa sahaja bentuk yang berkaitan yang termasuk dalam maksiat kepada Allah serta menghina larangan Allah.

Selain itu terdapat juga mereka yang menyambutnya melakukan perbuatan mungkar, meringan-ringankan shalat, bermuamalah dengan riba’, meninggalkan perkara-perkara sunnah (samada yang zahir mahupun batin).

Dan antara perkara yang buruk, yang dikira sebagai berpaling dari kebaikan dan apa yang datang dari Nabi صلى الله عليه وسلم adalah apabila sebahagian mereka hanya menyambutnya pada malam atau hari tertentu, kemudian melupakan dan meninggalkannya pada hari-hari lain sepanjang tahun. Sepanjang tahun mereka tidak ada langsung berkumpul untuk membaca sirah baginda dan mengingati kisah perjuangan baginda صلى الله عليه وسلم.

Terdapat di sebahagian tempat, mereka hanya memberi keutamaan mengingati Nabi صلى الله عليه وسلم dengan membaca sejarah baginda, mengharumkan majlis-majlis dengan membaca sifat-sifat, keutamaan baginda, madah dan pujian buat baginda, memberi makan serta perbuatan-perbuatan kebajikan lain hanya pada bulan Rabiul Awwal. Perkara-perkara ini memanglah amat baik dan tiada seorangpun meraguinya.

Namun apa yang wajib ke atas kita adalah melakukannya pada setiap hari sepanjang tahun, karena ingatan terhadap Rasul صلى الله عليه وسلم tidak mempunyai waktu yang terhad atau hari yang tertentu, malah ia merupakan agenda kehidupan seorang muslim setiap hari pada setiap urusan kehidupannya. Perhimpunan-perhimpunan yang diadakan ini pula adalah sebagai kunci bagi memperingatkan kita kepada kenyataan dan tujuan ini.
Jikalau sambutan-sambutan maulid bebas dari perkara-perkara bid’ah dan mungkar ini, tentu sekali ia merupakan wasilah yang terbaik bagi kebaikan, dan kaedah serta pintu yang termulia bagi dakwah kepada Allah, peringatan dan nasihat ummat manusia sebagai mencontohi generasi salafussoleh yang termulia.

Alhamdulillah, kebanyakan majlis sambutan maulid yang kita hadiri samada di sini mahupun di tempat-tempat lain, merupakan perhimpunan yang penuh kemuliaan dan kesucian, majlis yang dipenuhi dengan adab, perasaan indah dan penghormatan, perhimpunan keilmuaan, keutamaan, kegembiraan dan kegemilangan. Ia diadakan pula di masjid-masjid (tempat yang termulia di muka bumi), ataupun di dewan-dewan, dataran-dataran, sekolah dan institusi pengajian agama, mahupun di rumah para ulama. Ia dihadiri pula oleh para ulama besar serta para pendakwah ke jalan Allah yang menyerikan majlis dengan nasihat dan pengajaran mereka.

Mungkin mereka yang anti-sambutan maulid ini melihat kepada beberapa majlis yang diadakan yang mana terdapat padanya perkara-perkara bid’ah dan mungkar yang kita sebutkan di atas tadi. Kita jawab kepada mereka, sesungguhnya perkara-perkara mungkar tersebut tidak hanya terjadi pada sambutan maulid sahaja, tetapi juga pada sambutan-sambutan yang kita sepakati pensyariatannya, seperti di masjid-masjid, tempat-tempat mengerjakan haji dan umrah (terutamanya ketika berlaku kesesakan), atau pada perhimpunan-perhimpunan tahunan seperti solat eidul fitri dan eidul adha, wuquf di Arafah, melontar jamrah, dan apa jua perhimpunan lain. Namun begitu perkara mungkar ini tidak menjejaskan asas perhimpunan-perhimpunan ini,

لأن الماء الطهور لا ينجسه شيء

karena bahawasanya air yang suci lagi menyucikan itu tidak akan ternajis dengan sesuatu yang lain.

Maka bolehkah seorang yang berakal mengatakan kita harus melarang semua perhimpunan yang disyariatkan tersebut karena berlaku padanya perkara-perkara mungkar tersebut? سبحانك هذا بهتان عظيم (Maha Suci Engkau, ya Allah. Ini adalah satu pembohongan yang besar!)

Jika seorang yang benar-benar ingin melarang perkara mungkar dengan insaf dan berfikiran jelas tentulah mengatakan, wajib bagi kita mengingkari segala bentuk kemungkaran tidak kira berlaku dalam apa juga majlis, samada ia berlaku dalam sambutan maulid, mi’raj, haji, hari raya, tarawih, atau apa juga majlis lain, tanpa hanya menumpukan perhatian hanya pada sambutan maulid itu sendiri, dengan mengerah segala tenaga dan media, di forum-forum atau laman web tertentu atau diatas mimbar-mimbar masjid untuk memerangi perhimpunan bagi sambutan maulid.

Sesiapa yang ingin memerangi perkara mungkar dan bid’ah dengan hikmah dan keinsafan, tanpa mengkhususkannya pada sambutan tertentu sahaja, tentu sekali kita semua akan menyokong dan membantu sedaya upaya. Semoga segala sambutan yang kita adakan bersih dari perkara mungkar demi menjaga kesucian dan menghormati Tuan kepada sambutan maulid ini sendiri, صلى الله عليه وسلم.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Maret 2, 2010 inci Sejarah & Biografi, Tentang Nabi SAW

 

Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki Tentang Maulid (5)

Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki Tentang Maulid (5)

Sumber: orgawam

Bantahan Yang Gugur

Pada hakikatnya Maulid tidak lain dan tidak bukan adalah perhimpunan untuk mendengar sirah Nabi صلى الله عليه وسلم, serta memperingati kurniaan Allah Ta’ala ke atas umat ini dengan kelahiran Nabi Yang Mulia Lagi Penyantun dan Penyayang صلى الله عليه وسلم.

Namun demikian terdapat beberapa serangan liar serta bantahan yang sangat lemah, yang dipegang kuat oleh mereka yang mengingkari maulid. Malah mereka saban tahun akan membuat serangan-serangan ini demi menegakkan benang basah mereka.

Antara tuduhan mereka adalah, orang yang menyambut Maulid beriktiqad bahawa ia adalah hari raya yang ketiga. Dakwaan ini telah ditolak dan telah diterangkan sebelum ini.

Selain itu mereka juga mendakwa bahawa sambutan Maulid merupakan tambahan kepada syariat dan seolah-olah menokok tambah dalam agama. Ini karena, kata mereka, jika ia merupakan suatu perkara yang baik, tentu sekali Nabi صلى الله عليه وسلم akan membuatnya. Dakwaan ini merupakan suatu dakwaan liar yang lemah sama-sekali. Ini karena, tiada seorang pun sama ada orang awam di kalangan Muslimin, jauh sekali para ulama, yang akan beriktiqad atau menyangka sedemikian. Tambahan pula, bukanlah semua yang tidak dilakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم atau salaf, dan dilakukan oleh golongan selepas mereka dikira sebagai cubaan menyempurnakan agama atau menokok tambah dalam syariah. Amat jauh sekali fahaman ini. Kalaulah demikian di manakah pintu ijtihad?

Apakah yang mereka katakan pada ribuan masa’il ijtihadiah (permasalahan yang diselesaikan dengan ijtihad para mujtahidin) yang diselesaikan selepas kurun-kurun yang utama tersebut? Adakah ia menyempurnakan agama juga? Dan bolehkah kita katakan semua permasalahan ini, terlepas pandang dari Nabi صلى الله عليه وسلم dan para Salaf? Atau mereka melupakannya atau tercuai dari menyelesaikannya?. سبحانك هذا بهتان عظيم (Maha Suci Engkau, ya Allah. Ini adalah satu pembohongan yang besar!) Ini merupakan satu sangkaan yang jelas sesat.

Seterusnya kita persoalkan, siapakah yang mendakwa bahawa amalan maulid ini mempunyai cara dan teknik yang berbentuk ta’abbudiyyah yang mempunyai nash secara langsung ke atasnya? Dakwaan ini merupakan sebesar-besar tipu daya dan sebathil-bathil perkara yang cuba diserapkan oleh mereka. Dakwaan ini juga telah kita jawab sebelum ini.

Selain itu mereka mengatakan bahawa sambutan maulid ini merupakan bid’ah dari kelompok Rafidhah, karena yang pertama menciptakan sambutan ini adalah kerajaan Fatimiyyah yang mereka katakan zindiq, rafidhah dan keturunan Abdullah bin Saba’. Begitulah apa yang mereka dakwa.(12)

Jawaban kepada tuduhan ini telah kita sebutkan sebelum ini, yang mana sesungguhnya yang pertama sekali menyambut maulid adalah shohib kepada Maulid ini sendiri, iaitu Saiyiduna Muhammad صلى الله عليه وسلم. Kita telah sebutkan dalil-dalil shahih padanya yang mana tiada khilaf padanya.

Adapun perselisihan pada kaifiat dan jalannya (tekniknya) yang sentiasa berkembang dan berubah, ia bukanlah suatu perkara yang mesti mempunyai nash secara langsung. Malah sebenarnya umat Islam telahpun menyambutnya sebelum zaman Fatimiyyah lagi. Dan para ulama telah menyusun perihal maulid ini dalam kitab-kitab yang khas baginya.

Penipuan dan Pemalsuan Terhadap Ibn Katsir

Kita juga ada membaca dan mendengar cubaan mereka yang anti-maulid, untuk menyebarkan kebathilan mereka dengan apa jua cara, walau dengan pemalsuan (seperti mana kebiasaan mereka bagi mengaburi orang awam di kalangan Muslimin, terutamanya yang kurang ilmu), apabila mereka mengatakan begini (dengan lafaz mereka sendiri):(13 )

“Sesungguhnya al-Hafiz Ibnu Katsir menyebutkan dalam al-Bidayah wa an-Nihayah (Jilid 11 mukasurat 172), bahawa Daulah Fatimiyah al-Ubaidiyyah (yang dinisbahkan kepada Ubaidullah bin Maimun al-Qadaah berbangsa Yahudi), yang memerintah Mesir dari tahun 357H hingga 567H, telah mengadakan pelbagai sambutan pada hari-hari yang tertentu, dan antaranya ialah sambutan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم.” – Tamat petikan

Beginilah yang mereka naqalkan dari al-Hafiz Ibnu Katsir. Dan apabila kita merujuk kepada apa yang mereka sebutkan, kita katakan kepada mereka: Wallahi, Kamu semua telah berdusta!!! Sesungguhnya kami dapati daripada apa yang kamu dakwa daripada al-Hafiz Ibnu Katsir merupakan satu dustaan, tipudaya, pemalsuan dan pengkhianatan dalam mengambil kata-kata ulama.

Nah, bagaimanakah kita boleh mempercayai dan berasa aman dengan mereka yang sanggup berbuat demikian kepada ulama? Mereka amat taksub dan mengikut hawa nafsu mereka sehingga sanggup berbuat apa sahaja dan enggan bermunaqasyah dengan adil, insaf dan jauh dari hawa nafsu.

Berikut pendapat sebenar al-Hafiz Ibn Katsir pada amalan maulid dan perkembangannnya, dan yang telah disembunyikan oleh mereka yang mendakwa kononnya mereka bermunaqasyah dengan penuh keadilan dan keinsafan. Al-Hafiz Ibn Katsir berkata dalam al-Bidayah wa an-Nihayah Juzuk 13, Halaman 136, Terbitan Maktabah al-Ma’arif seperti berikut:

“… al-Malik al-Mudzaffar Abu Sa’id al-Kukabri, salah seorang dari pemimpin besar yang cemerlang serta raja-raja yang mulia, baginya kesan-kesan yang baik14 (lihat kata Ibn Katsir “kesan-kesan yang baik”), beliau telah mengadakan maulid yang mulia pada bulan Rabiulawwal, dan mengadakan sambutan yang besar. Selain itu, beliau seorang yang amat berani, berakal, alim lagi adil. Semoga Allah merahmati beliau dan memperbaikkan kesudahannya…” dan beliau berkata seterusnya : “dan beliau (Sultan Muzaffar) berbelanja untuk menyambut maulid 300,000 dinar”

Maka lihatlah sidang pembaca sekalian, kepada puji-pujian kepadanya oleh Ibn Katsir, yang menyifatkan beliau sebagai seorang yang alim, adil lagi berani, dan tidak pernah mengatakan, zindiq, pembuat dosa, fasiq, melakukan dosa besar, sepertimana yang didakwa oleh mereka yang menentang sambutan ini. Sidang pembaca boleh merujuk sendiri kepada rujukan yang diberi, dan akan menemui kata-kata yang lebih hebat lagi dari ini, yang tidak disebutkan di sini bagi tidak memanjangkan perbahasan ini.

Lihatlah juga kata-kata al-Imam al-Hafiz adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’, Juzuk 22, halaman 336, ketika menerangkan perihal al-Malik al-Mudzaffar apabila disebutkan: “Beliau merupakan seorang yang tawadhu’, baik, ahli sunnah, dan menyintai para fuqaha’ dan muhadditsin.”

Selain itu bagi menjawab bantahan mereka kononnya ulamak silam mencerca sambutan ini, kita bawakan kata-kata yang jelas dari tiga ulamak yang kehebatan mereka diakui semua.

1) Al-Imam al-Hujjah al-Hafiz as-Suyuthi: Di dalam kitab beliau, al-Hawi lil Fatawa, beliau telah meletakkan satu bab yang dinamakan Husnul Maqsad fi ‘Amalil Maulid, halaman 189, beliau mengatakan: Telah ditanya tentang amalan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم pada bulan Rabiul Awal, apakah hukumnya dari sudut syara’? Adakah ia dipuji atau dicela? Adakah pelakunya diberikan pahala atau tidak?

Dan jawapannya di sisiku: Bahawasanya asal kepada perbuatan maulid, iaitu mengadakan perhimpunan orangramai, membaca al-Quran, sirah Nabi dan kisah-kisah yang berlaku pada saat kelahiran baginda dari tanda-tanda kenabian, dan dihidangkan jamuan, dan bersurai tanpa apa-apa tambahan daripadanya, ia merupakan bid’ah yang hasanah yang diberikan pahala siapa yang melakukannya karena padanya mengagungkan kemuliaan Nabi صلى الله عليه وسلم dan menzahirkan rasa kegembiraan dengan kelahiran baginda yang mulia.

2) Syeikh Ibn Taimiyah : “Di dalam kitab beliau, Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim, cetakan Darul Hadis, halaman 266, beliau nyatakan: Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebahagian manusia samada menyaingi orang Nasrani pada kelahiran Isa عليه السلام, ataupun kecintaan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…”

Seterusnya beliau nyatakan lagi : “Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya.”

Kita pula tidak mengadakan maulid melainkan seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah sebagai: “Kecintaan kepada Nabi dan mengagungkan baginda.”

3) Syeikhul Islam wa Imamussyurraah al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani: Berkata al-Hafiz as-Suyuthi dalam kitab yang disebutkan tadi: Syeikhul Islam Hafizul ‘Asr Abulfadhl Ibn Hajar telah ditanya tentang amal maulid, dan telah dijawab begini: “Asal amal maulid (mengikut cara yang dilakukan pada zaman ini) adalah bid’ah yang tidak dinaqalkan dari salafussoleh dari 3 kurun (yang awal), walaubagaimanapun ia mengandungi kebaikan serta sebaliknya. Maka sesiapa yang melakukan padanya kebaikan dan menjauhi yang buruk, ia merupakan bid’ah yang hasanah.

Telah jelas bagiku pengeluaran hukum ini dari asal yang tsabit iaitu apa yang tsabit dalam shahihain (shahih al-Bukhari dan shahih Muslim) bahawa Nabi صلى الله عليه وسلم ketika tiba di Madinah mendapati orang Yahudi berpuasa Asyura’, lalu baginda bertanya kepada mereka (sebabnya). Mereka menjawab: Ia merupakan hari ditenggelamkan Allah Fir’aun dan diselamatkan Musa, maka kami berpuasa karena bersyukur kepada Allah. Maka diambil pengajaran darinya melakukan kesyukuran kepada Allah atas apa yang Dia kurniakan pada hari tertentu, samada cucuran nikmat atau mengangkat kesusahan.”

Seterusnya beliau berkata lagi: Dan apakah nikmat yang lebih agung dari nikmat diutuskan Nabi ini صلى الله عليه وسلم, Nabi Yang Membawa Rahmat, pada hari tersebut? Dan ini adalah asal kepada amalan tersebut. Manakala apa yang dilakukan padanya, maka seharusnya berlegar pada apa yang difahami sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah Ta’ala samada tilawah, memberi makan, sedekah, membacakan puji-pujian kepada Nabi, penggerak hati atau apa sahaja bentuk kebaikan dan amal untuk akhirat.”

Inilah istinbat-istinbat yang dikatakan oleh mereka yang menentang sambutan maulid (anti-maulid) sebagai istidlal yang bathil serta qias yang fasid, lalu mereka mengingkarinya. Cukuplah bagi kita memerhatikan siapakah yang mengingkari dan siapa pula yang mereka ingkari!!!

Golongan yang anti-maulid juga mengatakan bahawa Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak pernah melakukannya, begitu juga khulafa’ ar-rasyidun serta tidak juga dari mereka dikalangan para sahabat yang lain.

Maka Kita katakan kepada mereka bahawa sekadar meninggalkan sesuatu perkara tanpa diiringi nash bahawa apa yang ditinggalkan adalah perkara yang dilarang, bukanlah merupakan satu nash padanya. Malah ada menunjukkan bahawa apa yang ditinggalkan itu suatu yang disyariatkan. Manakala suatu perbuatan yang ditinggalkan menjadi suatu perkara yang dilarang bukanlah diambil dari sifatnya ditinggalkan semata-mata, tetapi berdasarkan dalil lain yang menunjukkan larangan. Walau bagaimanapun soal jawab ini gugur karena kita katakan apa yang bercanggah adalah pada teknik dan cara, bukannya pada asal hakikat maulid itu sendiri yang ada dilakukan sendiri oleh baginda صلى الله عليه وسلم.

Dan adapun dakwaan mereka dengan bahawa kebanyakan yang menyambut maulid ini adalah golongan fasiq dan yang membuat maksiat merupakan satu tuduhan yang jelas tidak berasas sama sekali. Mereka perlu membawakan bukti pada apa yang mereka katakan. Jika tidak ini merupakan suatu fitnah kepada majoriti umat Islam di seluruh dunia, dan merupakan satu maksiat dan dosa besar pula ke atas mereka. Malah kita juga sudah menjawab dakwaan ini sebelum ini.

Antara bantahan mereka lagi ialah: Sesungguhnya sambutan ini bukanlah dalil kecintaan kepada baginda صلى الله عليه وسلم.

Jawaban baginya pula ialah: Kita tidak mengatakan bahawa sambutan maulid ini merupakan satu-satunya dalil kecintaan kepada baginda صلى الله عليه وسلم, dan siapa yang tidak menyambutnya bukanlah pencinta. tetapi apa yang kita katakan adalah: Sesungguhnya sambutan maulid ini merupakan satu tanda daripada tanda-tanda kecintaan kepada baginda, dan ia merupakan satu dalil dari dalil-dalil kepada kaitan kita kepada baginda dan mengikuti baginda. Selain itu, tidak semestinya siapa yang tidak menyambutnya bukan seorang pencinta atau pengikut baginda.

Dan sabitnya kecintaan dengan mengikuti jejak baginda tidak menafikan tsabitnya kecintaan dengan mengikuti baginda serta ditambah lagi dengan mengambil berat dan berusaha lagi, seperti mana yang disyariatkan, yang tergambar dalam sambutan ini. Sambutan ini pula tidak terkeluar dari kaedah dan asas-asas syariah di sisi mereka yang berakal.

Antara bantahan mereka yang gugur lagi ialah, kata-kata sebahagian mereka bahawa ayat Alquran yang kita sebutkan dalam dalil ketiga, (bahagian 1) sebelum ini iaitu :

قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ…

Mereka mengatakan bahawa ayat ini tidak menunjukkan kepada kegembiraan dengan adanya Rasul صلى الله عليه وسلم karena yang dimaksudkan dengan rahmat di sini adalah Islam dan Al-Quran. Mereka juga menaqalkan kata-kata beberapa mufassir padanya, serta beberapa atsar padanya, walaupun tidak diriwayatkan langsung hadits marfu’ padanya.

Kita katakan: Subahanallah!. Betapa pelik dan ajaibnya kata-kata ini. Kalaulah yang berkata ini tidak mengucapkan syahadah, nescaya kita katakan dia adalah seorang musuh yang nyata menyesatkan, mempunyai dendam dan hasad serta niat jahat. Namun kalimah tauhid yang disebutkan menyelamatkan mereka dari kata-kata ini, lalu dengan lidah-lidah sesama mu’min yang mengesakan Allah serta mangasihi satu sama lain, kita bersangka baik kepada mereka bahawa ini adalah karena kejahilan mereka serta salah faham.

Dan sebagai jawapan bagi bantahan ini, kita katakan bahawa telah jelas disifatkan Nabi صلى الله عليه وسلم sebagai rahmat dalam ayat-ayat dan hadits yang begitu banyak yang sebahagiannya telah pun kita sebutkan sebelum ini. Maka apakah penghalang dari kita katakan rahmat dalam ayat yang disebutkan ini juga merangkumi Nabi صلى الله عليه وسلم, maka kita katakan Islam, Al-Quran dan Nabi صلى الله عليه وسلم semuanya adalah rahmat.

Dan siapakah yang datang dengan Islam yang merupakan rahmat? Dan siapa pula yang diturunkan padanya Al-Quran yang merupakan rahmat? Bukankah baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang datang dengan rahmat ini? Jikalah tidak didatangkan dalam Al-Quran nash yang jelas menunjukkan secara mutlak zat serta syakhsiah baginda yang mulia sebagai rahmat, cukuplah penyataan di atas sebagai menunjukkan bahawa yang membawa rahmat itu sendiri adalah rahmat. Dan berdasarkan manhaj mentafsir Al-Quran dengan al-Quran, tidak syak lagi bahawa ayat tersebut merangkumi Nabi صلى الله عليه وسلم yang merupakan rahmat yang diperintahkan oleh Allah kepada kita supaya bergembira dengannya.

bantahan mereka lagi ialah: Sesungguhnya hari kelahiran baginda adalah hari kewafatan baginda juga. Maka kegembiraan tentulah tidak lebih utama dari kesedihan. Dan lebih utama bagi seorang yang menyintai menganggap hari ini sebagai hari berkabung dan bersedih.

Kita katakan: Sesungguhnya cukuplah bagi kita al-Imam Al-’Allamah Jalaluddin as-Suyuthi sebagai balasan kepada kesalahan ini. Beliau telah menyatakan di dalam kitabnya al-Hawi: Sesungguhnya kelahiran baginda صلى الله عليه وسلم merupakan seagung-agung nikmat, manakala kewafatan baginda musibah terbesar kepada kita. Dan syariah menyeru kita untuk menzahirkan kesyukuran atas nikmat, dan sabar serta bertenang ketika ditimpa musibah. Syariat telah memerintahkan ‘aqiqah pada kelahiran sebagai menzahirkan kesyukuran dan kegembiraan atas kelahiran. Sebaliknya tidak pula diperintahkan demikian atau lainnya ketika kematian, malah dilarang pula ratapan dan menunjukkan kesedihan yang teramat sangat. Maka kaedah syariah telah menunjukkan bahawa pada bulan ini digalakkan menunjukkan kegembiraan dengan kelahiran baginda صلى الله عليه وسلم, dan bukanlah menunjukkan kesedihan dengan kewafatan baginda صلى الله عليه وسلم.

Antara bantahan mereka yang gugur lagi ialah bahawa kisah Abu Lahab yang membebaskan Tsuwaibah ketika dikhabarkan kepueteraan Nabi صلى الله عليه وسلم merupakan satu atsar yang bathil, karena ia hanya sebuah mimpi yang tidak boleh dijadikan hujah, serta bercanggah dengan al-Quran. Kemudian mereka berdalilkan kata-kata Ibn Hajar dan mereka berkata : Telah berkata al-Hafiz di dalam al-Fath bahawa ia adalah mimpi yang tiada hujah padanya.

Kita katakan bahawa, Ibn Hajar yang mereka ambil kata-katanya sebagai dalil dan mereka sifatkan sebagai “al-Hafiz” merupakan Ibn Hajar yang sama yang telah mengistinbatkan hukum maulid berdasarkan asas yang shohih berdalilkan hadits puasa ‘asyura’ (seperti disebutkan sebelum ini), lalu mereka tidak mengambil kata-katanya malah mengatakan : “Pendalilan ini adalah pendalilan yang bathil dan kias yang fasid”.

Lihatlah kepada kepincangan teknik mereka. Apabila mereka menyangka ijtihad Ibn Hajar menepati hawa mereka, lantas mereka katakan: “telah berkata ‘Al-Hafiz’”, sebagai menghormati dan memuliakan beliau dengan gelaran ini. Tetapi apabila bercanggah dengan hawa mereka, mereka tidak akan menyebutkan demikian malah mengatakan dalilnya fasid dan kiasnya fasid.

Tambahan pula, ini merupakan gambaran jelas kejahilan mereka yang anti sambutan maulid ini yang kononnya mengambil dalil dari kata-kata Ibn Hajar pada menolak khabar berkaitan tsuwaibah. Ini karena orang yang menaqalkan kata-kata ini telah menyeleweng serta menggunakan kata-kata Ibn Hajar mengikut nafsunya semata-mata, dan tidak mendatangkannya dengan gambaran yang sebenar. Kalaulah didatangkan kata-kata beliau dengan sempurna, tentulah gugur hujjah mereka. Ini karena al-Hafiz Ibn Hajar telah menolak serangan ini di penghujung perbahasannya tentang tajuk tersebut dengan mengatakan bahawa Allah Ta’ala berhak untuk melebihkan apa yang dikehendaki ke atas Abu Lahab, seperti mana yang dikurniakan kepada Abu Talib. Sesiapa yang merujuk kitab tersebut dengan sempurna tentu sekali akan memahami secara jelas pendapat Ibn Hajar yang sebenarnya.

Berkenaan hadits atau khabar tersebut pula, kita katakan secara ringkasnya bahawa kisah tersebut adalah sangat masyhur dalam kitab-kitab hadits dan sirah, dan telah dipetik dari para huffaz yang muktabar dan muktamad. Dan cukuplah bagi kita bahawa ia diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab shahihnya, yang kita sepakati kesahihannya yang tidak disangkal sama sekali.

Selain itu permasalahan ini termasuk dalam bab manaqib dan kelebihan serta kemuliaan yang mana tidak disyaratkan padanya sahihnya suatu khabar tersebut. Selain itu dakwaan mereka bahawa khabar ini sekadar mimpi yang tidak boleh dijadikan hukum syara’, kita katakan bahawa mereka tidak tahu membezakan antara hukum syara’ dan bukan. Pada hukum syara’ memang ada padanya perselisihan sama ada mimpi boleh dijadikan hujjah ataupun tidak. Adapun dalam bab manaqib seperti ini, berpegang dengan mimpi adalah dibolehkan secara mutlak. Inilah yang dipegang oleh para huffaz berdasarkan mimpi masyarakat jahiliyah akan tanda perutusan Rasulullah صلى الله عليه وسلم serta perkhabaran lain. Perkara ini banyak sekali terdapat dalam kitab-kitab sunnah terutamanya dalam menceritakan tanda-tanda kenabian.

Mereka juga mengatakan bahawa yang bermimpi dan meriwayatkan khabar ini, iaitu Abbas, dalam keadaan kufur, sedangkan orang kafir tidak diterima persaksian mereka dan tidak diterima khabar dari mereka. Ini merupakan kata-kata yang ditolak, dan tiada padanya haruman ilmiah langsung. Ini karena tidak pernah langsung kita katakan mimpi merupakan suatu persaksian. Maka tidak disyaratkan padanya keislaman seseorang. Ini seperti yang diriwayatkan dalam al-Quran kisah mimpi raja Mesir di zaman Nabi Yusuf عليه السلام yang merupakan seorang penyembah berhala, akan tetapi dijadikan sebagai tanda kenabian Nabi Yusuf عليه السلام. Kalaulah ia tidak boleh dijadikan dalil serta tiada faedah, mengapa pula disebutkan oleh Allah dalam al-Quran?

Dan apa yang lebih pelik lagi ialah, mereka mengatakan bahawa Abbas bermimpi ketika beliau kafir, dan orang kafir tidak diterima persaksian mereka, sedangkan kata-kata ini hanya layak keluar dari mereka yang tidak mengetahui ilmu hadits sahaja. Ini karena apa yang dinyatakan dalam ilmu hadits adalah periwayat hadits yang mengambil hadits ketika kafir kemudian meriwayatkannya sesudah Islamnya, boleh diambil riwayatnya serta diamalkan. Lihatlah contoh-contoh bagi perkara ini dalam kitab-kitab ilmu hadits, supaya anda akan mengetahui bahawa orang yang mengatakan begini adalah orang yang berkata tanpa ilmu, dan sesungguhnya nafsunyalah yang mendorongnya menceburkan diri dalam bidang yang dia bukan ahlinya.

Selain itu, apa yang lebih kuat lagi ialah, mimpi Abbas ini bukanlah seperti mimpi lain. Ini karena beliau telah menceritakannya ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم ada bersama, dan baginda mendengar serta menyetujuinya dan membenarkannya. Jikalau ia merupakan sesuatu yang salah atau bercanggah dengan agama, tentu sekali baginda akan mengingkarinya. Dan oleh karena baginda telah mendengar dan bersetuju dengannya, maka ia telah menjadi sunnah taqririah.

_________________________________

Catatan kaki:

(12) dan (13): Tuduhan ini dibuat oleh Shaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (meninggal pada1420H), bekas mufti Saudi didalam fatwanya (rujuk fatwa markaz ad-dakwah wa al-irsyad)

(14) Maksudnya menpunyai akhlaq yang baik.

Saya bawakan petikan dari kitab Irsyadul Jawiyyin ila Sabilil Ulama-il ‘Amilin oleh Tuan Guru Hj ‘Abdul Qadir bin Hj Wan Ngah Sekam. “ …… iaitu satu raja yang adil dan ‘alim … namanya Abu Said Kukubri bin Zainuddin … raja negeri Irbil dan bercerita oleh setengah mereka …….. [seterusnya] …. Dan cerita oleh isterinya bahawa baju bagi raja itu tak sampai harga lima dirham pun, maka isterinya merepek [berleter] kepadanya, maka jawab raja itu: Pakai aku akan kain lima dirham dan bersedekah aku dengan dirham yang lebih lagi itu terlebih baik daripada aku pakai yang mahal dan tinggal aku akan faqir miskin …..” – Halaman 11. – Tamat petikan -.

Al-Malik al-Mudzaffar Abu Sa’id al-Kukabri adalah ipar kepada Sultan Salahuddin al-Ayyubi. Beliau gugur syahid didalam medan jihad menentang tentera salib Perancis ketika mempertahan kota Akka pada tahun 630H. Beliau pernah menghadiahkan wang sebanyak seribu dinar kepada Shaikh Abu al-Khattab ibn Dihya karena telah menyusun untuk beliau sebuah kitab maulid bertajuk al-Tanwir fi Maulid al-Bashir al-Nadzir. – Wallahu a’lam

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Maret 2, 2010 inci Sejarah & Biografi, Tentang Nabi SAW

 

Keajaiban-Keajaiban Nabi Muhammad SAW Semasa Kecil

Keajaiban-Keajaiban Nabi Muhammad SAW Semasa Kecil

Sebuah tangis bayi yang baru lahir terdengar dari sebuah rumah di kampung Bani Hasyim di Makkah pada 12 Rabi’ul Awwal 571 M. Bayi itu lahir dari rahim Aminah dan langsung dibopong seorang “bidan” yang bernama Syifa’, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf. Read the rest of this entry »